Wednesday, May 20, 2009

PERGULATAN IDENTITAS ANTARA DAYAK DAN MELAYU

Pergulatan Identitas antara Dayak dan Melayu*
Oleh:Imam Qalyubi, M. Hum & Misrita, M. Hum**
“akankah sebuah status suku berubah ketika suku tersebut berpindah agama?”

Menurut Hudson (1972:12) istilah “Dayak” adalah suatu Istilah yang umum digunakan kolonial Belanda yang merujuk kepada kategori penduduk asli Kalimantan selain yang beragama Islam. Pengklasifikasian ini tentunya bukan merupakan pengklasifikasian yang muncul secara alami di kalangan masyarakat Kalimantan itu sendiri melainkan merupakan sebuah klasifikasi berdasarkan kajian antropologi yang dilakukan oleh Mallinckrodt (1928) seorang antropolog sekaligus sebagai kontrolir kolonial Belanda.
Pengklasifikasian Dayak oleh Mallinckrodt yang diidentifikasi sebagai masyarakat Non Islam tersebut tentunya bukan tanpa maksud-maksud tertentu. Bagaimanapun juga Mallinckrodt bukanlah antroplog sejati yang hanya bekerja untuk ilmu pengetahuan namun juga memiliki orientasi-orientasi lain sebagaimana para orientalis-orientalis Eropa di tanah jajahan. Bagi sebagian peneliti kritis penelitian Mallinckrodt tentulah sangat tendensius serta mengabaikan aspek keilmuan lainnya serta aspek-aspek lain yang lebih luas. Dalam artian bahwa tidak cukup sebuah pengklasifikasian suatu suku bangsa hanya bersandarkan satu disiplin ilmu saja karena bagaimanapun juga terdapat disiplin ilmu lain yang jauh lebih tepat untuk menentukan suku bangsa.
Jauh sebelum kolonialisme mengacaukan berbagai macam aspek kehidupan bangsa Indonesia, Indonesia telah memiliki sebuah pandangan yang sangat mendasar tentang konsep penamaan bangsa seperti ungkapan Melayu bahwa “Bahasa menunjukkan sebuah bangsa”. Inilah sebenarnya konsep penamaan sebuah suku yang secara alami tumbuh di hampir semua kalangan masyarakat Indonesia yang kesemuanya berakar dari rumpun bangsa dan bahasa Melayu yang kemudian kita kenal sebagai masyarakat Austronesia[1]. Sebuah sebutan bagi masyarakat yang tinggal di beberapa pulau di sebelah selatan atau Austro-Nessos (baca Austronesia).
Pengklasifikasian suku yang dilakukan Mallinckrodt bukan saja mengabaikan disiplin ilmu lain akan tetapi juga telah mengabaikan tentang konsep penamaan etnik yang dipahami oleh penduduk lokal yang telah ada dari jaman ke jaman sebelum para kolonialis menginjakkan kakinya di bumi Kalimantan. Terdapat sebuah kecendrungan bahwa pendikotomian antara Dayak dengan orang Dayak yang telah memeluk Islam (oloh salam) memiliki nuansa politis. Bagaimanapun juga hampir sebagian besar ilmuwan era kolonial hasil dan orientasi kerjanya bukan hanya untuk ilmu pengetahuan akan tetapi sebagian besar lainnya untuk kepentingan Belanda daripada hanya sekedar penelitian untuk orientasi keilmuan. Hal itu dapat dilihat dari beberapa hasil hipotesis baik berupa sejarah, antropologi, linguistik, maupun disiplin ilmu lainnya seperti buku maupun hasil ekspedisi. Beberapa diantaranya MT. H. Parlear (1861) penulis Novel, Molengraaff (1893-1894) peneliti botani, Anton W, Nieuwenhuis (1896-1897) dan (1893-1894) penelitian Zoologi yang sekaligus perwira kedokteran yang berdinas pada tentara Hindia Belanda dan Mallinckrodt (1928).
Di hampir semua penelitian dan catatan perjalanannya di bumi Kalimantan dipersembahkan untuk kepentingan kolonial. Sebagai sebuah agen kolonial beberapa pengamatan baik sosial maupun budaya seringkali menampilkan hal-hal yang provokatif dengan menonjolkan salah satu suku dan menafikan atau merendahkan suku-suku yang lain. Dengan ungkapan-ungkapan yang sangat rasialis seperti penindas, penipu, pemberontak dan gambaran-gambaran buruk lainnya sedangkan untuk mengambarkan suku Dayak Molegraaff menyebut Dayak sebagai suku yang lembut hati, suka hidup damai, penakut dan ungkapan-ungkapan manis lainnya (periksa Beekman: 1930:74-75 lihat juga Syamsuddin,2001). Molegraafff lupa bahwa penindasan demi penindasan kolonial pada bangsa Indonesia merupakan gambaran buruk yang dilakukan kolonial yang sangat sadis yang sulit diungkapkan dalam ungkapan kata.
Sungguh sangat ironi banyaknya sejarawan-sejarawan lokal yang cenderung menerima bulat-bulat hasil dari penelitian tersebut termasuk apa yang dilakukan Mallinckrodt tanpa melalui pendekatan kritis.
Perihal pendikotomian suku asli dan bukan asli Adam (2007:70) mengatakan bahwa kolonial Belanda sangat berperan penting dalam mempertegas identitas kesukuan sebagaimana yang dilakukannya pada suku Batak dan Melayu di Sumatra. Upaya pendikotomian antara asli dan bukan asli serta perbedaan antara Batak dengan Melayu menurut Adam telah dilakukan penjajah pada abad ke -16 akan tetapi betul-betul tergarap pada abad ke -19.
Jika melihat sumber-sumber resmi bahwa sebenarnya Dayak yang Non-Islam cenderung membias. Istilah Dayak dan Non Islam sebagaimana yang diklasifikasikan oleh antropolog Belanda tersebut lemah walaupun dengan pendekatan antropologis sekalipun, apalagi jika hal itu dikaji dari aspek linguistik jelas bahwa pengklasifikasian Malinckrodt tersebut tidak bisa diterima karena hanya menggunakan pendekatan vertikal artinya hanya mengelompokkan suku berdasarkan satu aspek saja yaitu aspek budaya.
Pendekatan yang seharusnya dilakukan adalah pendekatan lateral artinya melihat suatu pengklasifikasian bukan dari satu sudut pandang saja akan tetapi harus melihat aspek-aspek lainnya, seperti aspek kebahasaan, ciri-ciri genetis dan kesejarahan sejak sebelum datangnya para penjajah barat di bumi nusantara ini. Jika istilah penduduk asli didefinisikan sebagai orang Dayak yang beragama selain non-Islam dengan demikian orang asli hanya mereka yang beragama Asli Kalimantan. Bagaimanakah dengan orang yang secara kebahasaan, genetis dan kebudayaanya cenderung ke Dayak akan tetapi agama Islam, apakah dikatakan Non Dayak?
Pendefinisian Dayak sebagaimana yang ditawarkan Antropolog Mallinckrodt tentu sangat menyesatkan dan mengaburkan fakta-fakta sebenarnya sebagaimana penjajah Belanda ingin menghancurkan dan mengadu domba orang Dayak yang telah memeluk Islam dengan Dayak yang masih setia dengan agama Kaharingan. Orang Dayak sebagai orang yang bertutur dalam bahasa Dayak, berbudaya Dayak akan tetapi telah masuk Islam dalam hal ini jelas tidak mengubah statusnya sebagai seorang Dayak. Lihatlah bagaimana nantinya kebingungan identitas yang akan dialami oleh Dayak Bakumpai yang sebagian besar beragama Islam. Pada masa lalu orang Bakumpai adalah orang-orang yang memeluk agama leluhur Dayak akan tetapi setelah agama Islam masuk ke wilayah tersebut sebagian besar orang Bakumpai merubah keyakinannya menjadi Islam. Yang menjadi polemik adalah ketika seorang Dayak memeluk agama Islam seringkali atau dipahami oleh masyarakat di sekitarnya sebagai orang Melayu. Anggapan ini sebenarnya datang dari masyarakat sekitar yang didukung oleh penjajah pada waktu itu dan orang Bakumpai tidak mempermasalahkan, akan tetapi pada situasi yang normal seperti sekarang ini semakin banyak orang Bakumpai yang mempertanyakan identitas yang sebenarnya. Dengan menganggap bahwa persepsi tentang Dayak Bakumpai sebagai Melayu adalah sikap yang Out of Date. Dari aspek linguistik jelas bahwa bahasa Dayak Bakumpai jika ditarik dari garis bawah bahasa Bakumpai bukanlah bahasa Melayu sebagaimana bahasa Banjar. Memang harus diakui jika melihat aspek kultural banyak budaya-budaya Melayu yang telah diadopsi ke dalam budaya Bakumpai, akan tetapi tidak semua budaya lama Bakumpai dihilangkan walaupun mereka telah memeluk Islam. Sebagian dari Bakumpai muslim sampai saat ini masih melakukan ritual leluhurnya seperti ritual Badewa Dan Manyanggar Lebo walaupun sudah jarang. Dalam ritual Badewapun terdapat dua versi mantera yaitu Mantera Badewa versi Marabahan yang telah bercampur dengan Banjar sebagaimana yang telah dibahas dan Mantera Badewa versi Buntok sebagaimana berikut:
Assalmualaikum warahmatullah wabarakatuh.
Tuh yaku mengundang artiye ketuh teh arti bicandi artiye pangeran ikau maimbit hamba rakyat ayum anak buah ayum artiye akantuh, dumah kan tuh lalu libaste hindai mengahau artiye kituh si hung danum buayi ate ha libas te hindai jaka belian raja belian, jaka Katingan, raja Katingan, jaka Sangiang perdewa uluk perdewa janjang, lepah ketuh dumah kan tuh, tuh hiyaku artiye balaku duhup dengan ketuh manantamba artiye ulu ji sakit, ji gila, ji haban kapehe balaku duhup dengan katuh aritiye ji uluh jaya,ji uluh sakti, ha samapai artiya akan bidadadri ujuk ketuh lepah muhun dengan dayang elak balihi hindai bujur-bujur artiy ikiy uluh bumu lamah tuh balalaku duhup dengan ketuh. Ketuh manduhup jaka marandam karen taluh sampai mampakasake ketuh bidadadri ujuk jewu kareh artiya sampai gatuk artiya uluh bumi lamah tuh ketuh uluh barasih uluh ngambu. Dan kahau arti kahau arti kahau ikiy tuh idada hindai bulihi jaka artiye bikarajaan teluk maneluk, sungei manyungei simpang manyimpang, guwa-mangguwa, gunung-manggunung, datai-mandatai samapi artiye jaka belian, raja belian, Katingan raja Katingan, jaka Sangiang perdewa uluk perdewa janjang. Samandeyah ketuh muhun sampai artiya hambarayap ketuh bidadari ujuh dengan dayang-dayang muhun kantuh, ela ketuh sampai tapalihi, ela ketuh sampai mampahawen, mampamalu yaku itah tuh bujur-bujur manduhup artiye uluh ada upah laluh itah. Nah ketuh iye undang sabarapa ada jiundang tuh manduhup uluh sakit, haban, kapehe, gilalayau, mudah-mudahan ingabul awi Allah ta’ala sagala maksud uluh ji sakit, uluh tempun huma, uluh lebu tu kiya sekian terimakasih .

Jika melihat mantera yang digunakan dalam Mantera Badewa di Buntok jelas hanya sebagian kecil saja kosa kata bahasa Banjar selebihnya merupakan bahasa Dayak Ngaju. Dilihat dari aspek yang dominan seperti budaya dan bahasa Jelas bahwa bahasa Bakumpai maupun budayanya adalah Dayak. Pernyataan Mallinckrodt yang mengelompokkan Bakumpai sebagai Melayu jelas merupakan pernyataan yang ngawur.
Pendikotomian Dayak dan Melayu selayaknya harus dilihat jauh kebelakang sebelum terbentuknya negara kesatuan NKRI seperti sekarang ini. Istilah Melayu jika ditelisik lebih kritis sudah ada sejak sebelum datangnya agama Islam di Indonesia. Batu bertulis yang terdapat di Jambi yang bertarikh 600-an telah ditulis dalam bahasa Melayu, bahkan kerajaan yang masyhur di Palembang yaitu Sriwijaya dianggap sebagai kerajaan Melayu Budha. Sehingga pada masa lalu keseluruhan Sumatra disebut sebagai wilayah Melayu. Dengan demikian antara Melayu Budha dan Islam dan agama-agama lain jelas bukan identitas yang abadi apalagi dijadikan sebagai identitas paten pada salah satu agama tersebut. Melayu adalah sebuah Bangsa bukan suku di dalam bangsa, ada bermacam-macam suku dan bermacam-macam agama. Jika pada masa-masa penjajahan Melayu identik dengan agama Islam memang tidak bisa dipungkiri akan tetapi tidak semua yang berbau melayu haruslah Islam sebagaimana yang diklasifikasikan oleh Mallinckrodt. Untuk melihat gambaran secara gamblang bagaimana pengaruh bahasa Banjar dan bukti kedekatan atau kekerabatan bahasa Bakumpai berikut penjelasan konkretnya.
Dilematisme Suku dan Bahasa Bakumpai
Bahasa Bakumpai adalah bahasa yang dituturkan oleh penduduk asli yang bermukim di kampung-kampung yang saling berjauhan letaknya dan tersebar di sepanjang daerah aliran sungai Barito yang meliputi wilayah Propinsi Kalimantan Selatan dan Tengah. Walaupun kampung-kampung ini dipisahkan oleh hutan rimba, rawa-rawa dan bukit, namun bahasa Bakumpai ini masih digunakan dan tidak terdapat kesulitan dalam kontak antar penuturnya.
Secara geografis bahasa Bakumpai dibedakan atas beberapa daerah kantong, kantong bahasa Bakumpai di Marabahan yang berada di daerah wilayah Kalimantan Selatan dan kantong bahasa Bakumpai di Buntok sampai ke Puruk Cahu wilayah Kalimantan Tengah. Memang kantong bahasa Bakumpai di Marabahan masih menjadi fokus perhatian utama dalam beberapa kajian kebahasaan oleh karena adanya kontradiksi dalam hal penentuan status bahasanya. Hal itu terlihat dari silang pendapat kalangan para ahli dalam memposisikan status kantong bahasa Bakumpai di Marabahan. Seperti yang tercantum dalam peta bahasa Wurm (1983) yang mengelompokkan kantong bahasa Bakumpai di Marabahan sebagai anggota subkelompok melayu. Nampaknya hal ini lebih didasarkan pada kajian antropologis yang dilakukan oleh Mallinckrodt.
Pendapat yang pertama tidak dapat diterima karena kriterianya tidak tepat dijadikan sebagai dasar pengelompokan bahasa. Dalam hal pengelompokan bahasa dikembalikan terlebih dahulu status Marabahan yang anakronis[2] karena lebih ditinjau dari sudut antropologi perlu diamati dengan penuh seksama berdasarkan tinjauan linguistik. Dalam hal ini linguistik diakronis, yang pada hakekatnya dalam masalah klasifikasi/penggolongan bahasa mempunyai kewenangan seperti yang lazim dikaji dalam Linguistik Historis Komparatif seperti pendapat Fernandez (1996, lihat juga Lehman,1973:6; Bynon,1979:271-272; Lyons,1982:129).
Orang Bakumpai di Marabahan merupakan salah satu kelompok minoritas dalam lingkungan mayoritas masyarakat Banjar yang menempati Propinsi Kalimantan Selatan. Orang Bakumpai di Marabahan ini dikenal juga dengan beberapa sebutan lain yaitu urang Marabahan dan urang awen.
Wilayah Marabahan dahulunya di kenal sebagai daerah pusat perdagangan dan pelabuhan pada masa Kerajaan Melayu Banjar karena letaknya yang sangat strategis berada tepat di muara sungai Barito yang bersimpangan dengan sungai Nagara (Ras,1968). Orang Bakumpai terkenal pula sebagai pedagang yang handal (Arman,1994). Oleh karena itu umumnya orang Bakumpai di Marabahan berperan sebagai pedagang perantara antara pedagang Melayu Banjar dengan penduduk hulu Barito (orang Dayak) (Ibrahim, dkk. (1979).
Berdasarkan pendapat tersebut diatas, ada beberapa alternatif yang bisa dilihat dari orang Marabahan. Pertama, orang Marabahan adalah orang hulu yang ke hilir, kemudian belajar perdagangan dari orang Melayu Banjar dan menjadi handal serta menjadi pesaing bagi orang Melayu, selanjutnya menyebar luas kembali ke pedalaman menempati Buntok dan Puruk Cahu. Kedua, orang Marabahan adalah orang Bakumpai yang memang sudah ada sejak awal di pesisir, karena kedatangan bahasa Melayu yang merupakan lingua franca dan mempengaruhi bahasa Bakumpai, sehingga mereka menyingkir ke hulu sungai Barito. Ketiga, memudarnya bahasa Dayak (Bakumpai) di pesisir karena dominasi bahasa Melayu yang datang kemudian.
Kedudukan dan peran daerah Marabahan ini menyebabkan orang Bakumpai di Marabahan sedikitnya sejak tujuh abad yang lalu telah menjalin kontak dengan dunia luar terutama sekali dengan Melayu Banjar. Situasi semacam ini menyebabkan dipakainya lebih dari satu bahasa (bilingualism) dalam aktifitas orang Bakumpai Marabahan, maka terjadilah kontak bahasa (language contact) (Weinreich,1979). Kontak bahasa yang menyebabkan penutur bahasa Bakumpai dapat berbahasa Melayu dan Bakumpai mengakibatkan terjadinya pemindahan atau peminjaman unsur-unsur dari satu bahasa ke bahasa yang lain, seperti yang diungkapkan oleh Romaine (2000:51, lihat juga Poedjosoedarmo,2003:55-56) bahwa peminjaman leksikon dalam bentuk adopsi kata perkata atau bahkan mungkin seperangkat butir leksikal dari bahasa yang lain merupakan fenomena umum dalam situasi kedwibahasaan (bilingualism).
Pengaruh Melayu Banjar pada kantong bahasa Bakumpai di Marabahan sangat kuat terutama sekali dalam pemakaian bahasanya karena bahasa Melayu Banjar sebagai bahasa lingua franca digunakan dalam perdagangan[3]. Sedangkan bahasa Bakumpai hanya digunakan dalam lingkungan keluarga. Dominasi Melayu Banjar karena sebagai lingua franca ini juga mempengaruhi bahasa Sampit seperti yang dibuktikan oleh Misrita dalam penelitiannya (2005).
Sejak orang Bakumpai di Marabahan memeluk agama Islam, bahasa Melayu Banjar ini semakin intensif lagi digunakan sebagai salah satu identitas ke-Islam-annya dan sebagai sarana untuk menyejajarkan diri dengan orang Melayu Banjar (Ibrahim, dkk.1979). Hal ini telah berlangsung lama sehingga terjadi perubahan bahasa karena dominasi Melayu Banjar yang menyebabkan generasi berikutnya dalam pemakaian bahasanya memperlihatkan Melayu Banjar sebagai bahasa ibunya.
Oleh karena itu, Kemungkinan status ke-Melayu-an untuk kantong bahasa Bakumpai di Marabahan disebabkan karena penutur bahasa Bakumpai sudah memperlihatkan pengaruh-pengaruh bahasa Melayu yang signifikan di dalam kantong bahasa Bakumpai di Marabahan. Meskipun pengaruh-pengaruh itu sangat dominan, namun penentuan status kebahasaan harus mempertimbangkan masalah pinjaman atau serapan sebagai unsur yang komplimenter artinya walaupun pinjaman melayu itu sangat dominan akan tetapi bahasa Bakumpai di Marabahan masih menyimpan unsur bahasa Dayak. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1 :
Data dengan evidensi pengaruh bahasa Melayu Banjar dan pengelompokan bahasa Bakumpai serta unsur ke-dayak-an pada kantong bahasa Bakumpai di Marabahan.

No.
Glos
Proto Austro-nesia
Proto Melayik
Kantong bahasa Bakumpai di Marabahan (BkM)
Kantong Bahasa Bakumpai di Buntok (BkB)
Kantong Bahasa Bakumpai di P.Cahu (BkP)
Bahasa Dayak Ngaju (DNg)
Bahasa Melayu Banjar (Bjr)
1
Ekor
*ikuR
*buntut
Buntut
ikuh
Ikuh
ikuh
buntut
2
Tipis
*tipis
*nipis
Nipis
tipis
tipis
tipis
nipis
3
Tanya


Insek
insek
insek
isek
takkun
4
Isap
*isəp
*isap
Insep
insep
insep
isep
issap
5
Babi
*babuy
*babi
Babuy
babuy
Babuy
bawuy
babbi/
6
Bibir
*bibiR
*bibir
Bibih
bibih
bibih
biwih
bibbir
7
Tiga
*təlu
*tiga
tilu/
tilu/
tilu/
telu/
tigga/
8
Kami
*kami
*kami
Ikih
ikih
ikih
ikey
kami/
9
Masuk
*tama
*masuk
tame/
tame/
tame/
tame/
masuk
10
Tawa
*ta-tawa
*tawa
tawe/
tawe/
tawe/
tawe/
tawa/

Keterangan :
- Perwujudan leksikon Proto Austronesia dikutip dari Dempwolff (1934-1938)
- Perwujudan kosa kata Bakumpai dikutip dari Syahrial, dkk (1979); Kawi (1985) dan Ngabut, dkk (1985)
- Perwujudan kosa kata Dayak Ngaju dikutip dari Dempwolff (1934-1938) ; Hudson (1967) dan Durasid (1990)
- Perwujudan kosa kata Proto Melayik dan Banjar dikutip dari data Nothofer (1975) dan Kawi (2002).
Dari data 1 dan 2 di atas kantong bahasa Bakumpai di Marabahan memperlihatkan pengaruh bahasa Melayu Banjar yang signifikan, karena bentuk leksikon buntut dan nipis tidak ditemukan dalam lingkungan kelompok kantong bahasa Bakumpai yang lain selain kantong bahasa Bakumpai di Marabahan. Dalam kenyataannya bentuk buntut dan nipis hanya direalisasikan oleh kantong bahasa Bakumpai di Marabahan dan Banjar. Data ini setidaknya memberi pertimbangan bahwa terjadi pengaruh atau proses peminjaman pada kantong bahasa Bakumpai di Marabahan karena bahasa Melayu Banjar pernah menjadi bahasa lingua franca.
Bentuk buntut dan nipis merupakan unsur pewarisan dari Proto Melayu ke beberapa isolek Melayu, sedangkan bentuk ikuh dan tipis merupakan leksikon yang berkembang dalam kelompok bahasa non melayu seperti Ngaju, Maanyan, Kenyah. Hal ini seperti yang diuraikan dalam diagram genetik-nya Kawi (2002) berdasarkan Proto Melayik-nya Adelaar (1985). Sedangkan, data 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 menunjukan inovasi kognitif etimon Proto Austronesia (PAN) pada ke tiga kantong bahasa Bakumpai berupa epentesis nasal (data 3, 4 dan 5); retensi fonem /b/ (data 5 dan 6). Hal ini membuktikan bahwa kantong bahasa Bakumpai Marabahan merupakan anggota kelompok bahasa Bakumpai sama dengan dua kantong bahasa Bakumpai lainnya. Adapun data 9 dan 10 mencerminkan retensi etimon Proto Austronesia pada kantong-kantong bahasa Bakumpai serta pada bahasa Dayak Ngaju. Walaupun data di atas tidak cukup, namun dapat dilihat bahwa kantong bahasa Bakumpai di Marabahan dalam data terbatas ini masih memperlihatkan ke-Dayak-annya. Setelah data terkumpul dari lapangan akan diperhatikan lebih lanjut bagaimana pengaruh Melayu pada bahasa Dayak Bakumpai.
Berdasarkan uraian di atas tidak mengherankan peta bahasa Wurm (1983) tentang kantong bahasa Bakumpai di Marabahan sebagai anggota subkelompok bahasa Melayu ini mendapatkan dukungan dari penelitian yang lebih kemudian, antara lain : Muhadjir (1997), Haenen dan Masinambow (2000) yang melihat kantong bahasa Bakumpai di Marabahan tanpa mempertimbangkan unsur-unsur pinjaman yang dominan seperti uraian di atas. Namun demikian ada pula pendapat lain yang menjelaskan keeratan hubungan antara kantong bahasa Bakumpai di Marabahan dengan bahasa kelompok Dayak secara sinkronis yang berseberangan pula dengan pendapat Wurm di atas, seperti antara lain Ibrahim,dkk (1979) dan Kawi (1985). Hasil penelitiannya secara eksplisit menyatakan bahwa kantong bahasa Bakumpai di Marabahan merupakan dialek bahasa Bakumpai yang merupakan anggota bahasa Dayak.

* Makalah dipresentasikan dalam diskusi budaya di Forum Falsafatuna, Yogyakarta,23 Desember 2008
** Mahasiswa S3 Linguistik UGM, Yogyakarta

[1] “Austronesia” adalah istilah baku digunakan para ahli linguistik yang artinya kepulauan selatan. Istilah tersebut pertamakali diperkenalkan oleh ahli Linguistik Wilhelm Schmidt pada tahun 1899. Istilah Austronesia juga memiliki kesamaan arti dengan Melayu–Polynesia yaitu bahasa-bahasa atau bangsa yang terdapat di wilayah Selatan (lihat, Anceaux: 1981:2).
[2] Dikatakan anakronis karena dalam perjalanan sejarah kajian anthropologi Dayak yang beragama Tantaulang/Heiden/Kaharingan menjadi Islam yang identik dengan Melayu, akhirnya diidentikkan dengan peralihan Dayak ke Melayu seperti yang diuraikan Fischer (1980).

[3] Blust (1981) berpendapat bahwa pengaruh yang terjadi karena proses peminjaman antar bahasa yang berkontak akan sangat cepat terjadi, terutama kalau perdagangan memainkan peranan yang penting di dalam hubungan di antara masyarakat bahasa yang bersangkutan.

No comments: