Thursday, May 27, 2010

PEREMPUAN DALAM HIRARKI SOSIAL DAYAK

Oleh : MisRita Kalang
Sebagai sebuah suku yang menganut patrilenial suku Dayak bukan berarti tidak memperhitungkan posisi perempuan dalam hirarki sosialnya. Karena pada dasarnya kedudukan perempuan dalam suku Dayak merupakan bagian integral dari segala kedudukan dalam hirarki sosial masyarakat Dayak sendiri. Sebagaimana penggambaran tuhan Ranying Mahatalla Langit sebagai representasi dari laki-laki penguasa alam atas sementara jata atau tambun direpresentasikan sebagai perempuan yang menguasai alam bawah. Dengan demikian pada dasarnya posisi perempuan dalam hirarki sosial Dayak memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Penyebutan kata Nyai juga merupakan gelar kehormatan bagi perempuan Dayak seperti Nyai Undang, Nyai Bahandang Balau, Nyai Endas, Kameluh yang berarti putri, dll.
Penamaan Nyai Bahandang Balau selama ini diartikan sebagai perempuan berambut merah (balau ‘rambut’ ; bahandang ‘merah’), sesungguhnya penamaan ini merupakan gelar metaforis yang mengandung makna bahwa Nyai Bahandang Balau memiliki kesaktian atau kedigjayaan sebagaimana simbol yang melekat pada gelar yang dianugrahkan masyarakat kepadanya.




Gambar Perempuan Dayak di Kalimantan Timur dan di Kalimantan Tengah
Tidak terasa berat baginya, malah merasa bangga akan kecantikan cara berdandan serupa itu. Kebiasaan ber”lambing” ini sudah kurang diminati oleh anak-anak Dayak, kecuali pada beberapa tempat di pedalaman di antaranya suku Bahau dan Bulungan. Sedangkan wanita dayak di Kalimantan Tengah memakai anting yang lebih kecil dan sedikit panjang.

Wednesday, May 26, 2010

Agama Asli Suku Bangsa Dayak

Oleh : Misrita Kalang

Bagi penduduk asli pulau Kalimantan, agama asli bukanlah agama Hindu atau Budha, akan tetapi agama campuran dari kedua macam kepercayaan itu, setelah ditambah dan dikurangi di mana perlu oleh keadaan. Orang Belanda memandang, bahwa agama kepercayaan asli itu disebut “heiden” dan oleh penganutnya sendiri dinamakan agama helu atau agama jaman dahulu. Pada waktu sekarang ini, oleh suku Dayak Kalimantan diberikan nama baru buat agama mereka yakni Kaharingan artinya kehidupan yang abadi diambil dari bahasa Sangiang, yaitu bahasa Dayak kuno.
Agama Kaharingan juga memiliki unsur agama Hindu, Budha maupun Islam. Unsur-unsur Islam dapat dilihat pada penyebutan tiga kekuatan besar dalam Kaharingan yaitu Ranying Mahatala Langit yang menjadikan langit dan bumi, Tempun Telun yang melepaskan diri dari dosa, dan kekuatan lainnya adalah Maharaja Bunu yaitu sebuah kekuatan yang menguasai maut. Dewa-dewa tertinggi dalam agama Kaharingan juga disebutkan dengan istilah Pohantara yang berasal dari agama Budha dan Sangiyang ‘sanghyang’ merupakan istilah yang berasal dari Hindu, sedangkan untuk istilah Mahatalla merupakan istilah yang berasal dari kata Maha yang artinya Paling dan talla dari Allah ta’ala yang artinya Allah yang Tinggi yang diambil dari bahasa Arab sebagai pengaruh kuat Islam.
Penganut-penganut agama Kaharingan percaya kepada dewa-dewa, Sangiang-sangiang yang tinggal di alam atas kayangan, juga kepada roh-roh yang berdiam di pohon-pohon kayu besar, di teluk-teluk yang dalam, dalam muara-muara sungai atau dalam goa batu. Roh-roh itu berdiam pula pada beberapa jenis unggas, binatang-binatang buas. Menurut mereka, semuanya itu dapat mendatangkan kebahagiaan ~ roh baik ~ dan mendatangkan malapetaka ~ roh jahat.
Penganut kaharingan juga percaya kepada Dahiang karena adalah suatu alamat atau tanda bahagia dalam suatu pekerjaan atau perjalanan. Hal ini dialamatkan Ranying Mahatalla Langit dengan perantaraan sebangsa burung, sejenis ular khusus yang dijanjikan Tuhan untuk memberi alamat kepada makhluk manusia yang percaya akan kemurahannya. Siapa yang mengetahui dan percaya, maka terhindarlah ia dari bahaya yang menimpa dirinya. Sedangkan hal itu sebenarnya adalah sebagai suatu percobaan yang datangnya dari Tuhan untuk membuktikan kepercayaan manusia.
Kepercayaan kepada darah, adalah karena telah dijanjikan Tuhan, terutama darah korban yang disembelih untuk sesuatu maksud pemujaan. Seseorang yang disepuh dengan darah akan menerima rahmat Tuhan. Darah ini seringkali dipergunakan untuk menghapuskan sesuatu kejahatan, perselisihan, dan pertentangan. Oleh karena itu pada zamannya kadang-kadang suku Dayak itu tidak segan-segan untuk menumpahkan darah orang.
Kepercayaan kepada Pahanteran atau percaya kepada pemimpin upacara agama, untuk menunaikan syarat rukun kematian pada waktu Tiwah (upacara mengantar roh orang meninggal ke surga).
Sejak dikeluarkannya undang-undang yang menyatakan bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama resmi antara lain : Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dengan tidak dicantumkannya Kaharingan sebagai agama yang diakui oleh pemerintah maka kemudian Kaharingan melebur ke dalam agama Hindu menjadi Hindu Kaharingan karena Hindu dianggap agama yang banyak memiliki kesamaan pandangan dengan Kaharingan.

SISTEM PENGHITUNGAN WAKTU MASYARAKAT DAYAK *

Oleh : MisRita Kalang**

Abstrak
Sistem penanggalan yang ada pada suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah masih sangat primitif, karena khusus untuk penghitungan tahun dihitung menurut masing-masing periode penanaman padi di ladang. Dasar penetapan penghitungan waktunya berbeda-beda. Ada yang berdasarkan gerak matahari, fase-fase bulan/perjalanan bulan yang mengelilingi bumi, perbintangan ataupun berdasarkan fenomena alam seperti tumbuhan atau binatang, semuanya digunakan secara bergantian . Walaupun sistem penghitungan waktunya menggunakan bulan dan bintang di langit akan tetapi berbeda waktunya dari kalender nasional. Sistem penghitungan waktu suku Dayak Ngaju umumnya terbagi atas penghitungan tahun, pembagian waktu dalam setahun dan penghitungan hari. Adapun kegunaan sistem penanggalan ini bagi suku Dayak Ngaju yaitu antara lain untuk menentukan waktu yang tepat dalam melakukan kegiatan di perladangan, menghindari waktu yang kurang baik untuk melakukan suatu hajatan dan meramalkan keadaan alam.

A. Pendahuluan
Istilah suku atau orang Dayak merupakan istilah kolektif bagi sekian banyak kelompok penduduk di pulau Kalimantan. Penduduk Kalimantan itu sendiri pada mulanya tidak mengenal nama Dayak sebagai penamaan suku secara keseluruhan, karena istilah Dayak yang merupakan perkembangan dari kata Daya dalam bahasa beberapa anak suku Dayak itu sendiri mengandung arti bermacam-macam, namun tidak memiliki pertentangan seperti dalam bahasa Heban Kalimantan Timur Daya berarti ‘manusia’. Makna lain yang berasal dari anak suku lainnya seperti Dusun, Murut, Ngaju, Kenyah dan sebagainya Daya berarti : ‘hulu sungai/pedalaman/darat’. Penduduk yang bermukim di pesisir menyebut penduduk yang bermukim di pedalaman sebagai orang ‘darat’, sebaliknya penduduk yang bermukim di pedalaman menyebut penduduk yang bermukim di pesisir sebagai orang ‘laut’. Coomans (1987) menjelaskan sebelum digunakannya nama Dayak sebagai identitas suku, penduduk Kalimantan menyebut suku mereka menurut tempat atau daerah kediaman mereka masing-masing, yang umumnya sungai sebagai contoh adalah Uluh Kapuas, Uluh Kahayan, Uluh Katingan, Uluh Barito dan sebagainya. Selanjutnya, kata Dayak dipergunakan secara luas oleh orang-orang Eropa, khususnya para pegawai jajahan, untuk memberikan identitas bagi penduduk asli (indigenous people) di pulau Kalimantan meskipun anggapan ini secara ilmiah masih dapat dipersoalkan kebenarannya, antara lain karena adanya bukti-bukti arkeologis bahwa nenek moyang orang Dayak diduga berasal dari luar Kalimantan (Sellato, 1989).
Berdasarkan atas hubungan kebudayaan, bahasa dan letak geografisnya, suku bangsa Dayak dibagi menjadi tiga kelompok utama : yaitu kelompok utara meliputi Dusun dan Murut, kelompok selatan meliputi semua orang yang disebut Ngaju dan kelompok tengah meliputi orang Kenyah, Kayan dan Iban (Dove,1988). Suku Dayak Ngaju adalah salah satu sub etnis suku Dayak yang sudah dikenal dan cukup besar populasinya dan berada di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah yang berdiam di sepanjang sungai-sungai besar, seperti Kapuas, Katingan, Barito, dan Kahayan. Wilayah yang didiami suku Dayak Ngaju diduga pada mulanya terletak di daerah hulu sungai-sungai besar di Kalimantan Tengah.
Suku Dayak Ngaju, sama seperti suku-suku Dayak umumnya, hidup berkelompok. Setiap kelompok mendirikan kampung kecil terdiri atas tiga atau empat rumah panjang[1] dan besar yang dapat memuat beberapa keluarga berkelompok menjadi satu. Tiap keluarga yang tinggal di dalam rumah panjang itu hanya dibatasi oleh dinding-dinding saja. Rumahnya itu lazim disebut Huma Betang yang berbentuk panggung, bertiang tinggi kurang lebih dua sampai tiga meter dari permukaan tanah untuk menghindari banjir atau serangan binatang buas. Tiap kampung dipimpin seorang kepala adat atau kepala suku, yang disebut Bakas Lewu atau Ongko Lewu. Pada umumnya pola pemukimannya memanjang mengikuti alur sungai di mana mereka berada. Rumah yang dibangun selalu menghadap ke sungai karena sungai telah menjadi sistem sosial budaya dan ekonomi. Sungai memberikan multifungsi bagi mereka, yaitu sebagai sarana transportasi dan komunikasi, sumber ikan, tempat mandi, mencuci dan kakus.
Kehidupan suku Dayak Ngaju sangat dekat dengan alam salah satunya adalah yang berkaitan dengan penghitungan waktu atau tanda-tanda gejala alam seperti hujan, panas, banjir, tanda sial dan keberuntungan semuanya bisa dibaca melalui posisi bintang dan bulan atau berdasarkan karakter binatang dan tumbuhan.
B. Sistem Penghitungan Tahun
Sistem penghitungan tahun yang dikenal masyarakat Dayak Ngaju sangat sedikit dibicarakan jika dibandingkan dengan sistem penanggalan tradisional lainnya di Indonesia. Tidak ada sejarah yang pasti sejak kapan orang Dayak Ngaju mulai mengenal penghitungan tahun. Penghitungan tahun menurut suku Dayak Ngaju sangat primitif, karena mereka menghitung tahun menurut masing-masing periode penanaman padi. Jadi, tahun tersebut dihitung sebagai awal, begitu tindakan pertama diambil untuk membuka lahan penanaman padi yang baru.
Suku Dayak Ngaju memutuskan sebuah tahun tidak dengan sejumlah hari tertentu. Tahun yang mereka miliki adalah tahun yang ditentukan berdasarkan posisi matahari mengelilingi bumi. Walaupun pengetahuan kosmografi orang Dayak sangat terbatas. Akan tetapi mereka mengetahui bahwa matahari, pada waktu yang berbeda sepanjang tahun, terbit di titik yang lain. Bagi mereka langit itu padat dan semua sisi ditopang oleh alas kaki di atas bumi, sedangkan bintang-bintang dilekatkan pada langit dan tidak bergerak. Adapun planet besar yang kelihatan (seperti Mars, Venus dan Jupiter) bersama-sama dengan matahari dan bulan bergerak di bawahnya dan melalui suatu celah di dasar bumi setiap hari keluar kembali.
Orang Dayak menganggap bahwa setiap hari matahari yang muncul adalah matahari yang baru. Di Tumbang Manjul daerah Kotawaringin Timur Propinsi Kalimantan Tengah, menurut penduduk setempat dahulu terdapat sebuah batu di kali sebagai tempat duduk yang digunakan untuk melihat matahari terbit di atas titik tertentu pada perbukitan di depannya. Hal ini dilakukan untuk menentukan awal tahun ‘penanaman padi baru’ pada hari ketika matahari terbit pada titik tertentu di ufuk.
C. Pembagian Waktu dalam Setahun
Adapun pembagian waktu dalam setahun yang sifatnya teratur dalam bentuk bulan yang ditentukan menurut periode penanaman padi menurut orang Dayak Ngaju adalah sebagai berikut :
No
Pembagian Tahun Makna
1. Nyuwuk Jumpun ‘masa merambah hutan untuk mencari tempat yang cocok untuk berladang’
2. Tamaruh / Nebas ‘masa menebas kayu-kayu yang kecil’
3. Maneweng ‘masa menebang kayu-kayu besar’
4. Timbuk Pambuk ‘masa tebangan dibiarkan kering’
5. Nutung ‘masa membakar tebangan yang kering’
6. Ipanruk ‘masa membakar sisa pohon yang belum habis terbakar di waktu nutung’
7. Manugal‘masa menanam benih padi’
8. Mambawau ‘masa menyiangi ladang (membersihkan rumput yang tumbuh agar tidak mengganggu tanaman padi di ladang’
9. Manggetem / Malan ‘masa menuai padi’
Penyebutan tahun tidaklah memakai angka melainkan berdasarkan suatu periode kegiatan di perladangan. Semua orang Dayak Ngaju tahu mereka lahir pada masa mana, tetapi berapa tahun usianya, mereka cepat lupa. Contohnya :
“anakku impanak pas nyelu nutung male”. ‘anak saya lahir pada saat tahun pembakaran ladang yang lalu’
Akan tetapi lamanya masa mengandung dihitung menurut jumlah bulan[4] (Nieuwenhuis,1900). Masa mengandung merupakan satu hal yang sangat penting bagi orang Dayak Ngaju. Hal ini terlihat dari banyaknya pahingen ‘pantangan’ yang harus ditaati oleh seorang suami dan istri yang mengandung (Riwut,2003). Antara lain, selama si istri mengandung si suami berpantang membunuh atau menyembelih semua jenis binatang. Apabila hal ini dilakukan bayinya akan terlahir cacat. Sedangkan si istri berpantang antara lain ; melilitkan apa saja di lehernya karena takut si bayi terlilit tali plasenta saat dilahirkan, atau memakan kepiting jenis apapun karena bayinya akan lengket (mencengkeram seperti kepiting) di dalam perut sehingga sulit melahirkan dan akan membawa kematian bagi si calon ibu dan bayinya.
Meskipun suku Dayak Ngaju memutuskan sebuah tahun tidak dengan sejumlah hari tertentu, namun telah diketahui bahwa dalam sebulan ada 28 atau 29 hari dari sejumlah hari disepanjang tahun ( Deel,1927).
kedudukan bintang-bintang menentukan waktu penyelenggaraan kegiatan di ladang.
D. Gugusan Bintang-Bintang
Gugusan bintang-bintang yang berada dalam lingkaran perbintangan menurut pengetahuan orang Dayak Ngaju berjumlah 7 (tujuh) dan tidak membentuk lingkaran yang terikat erat. Adapun gugusan bintang-bintang itu adalah :
1. Bintang uju adalah bintang kartika [5]
2. Saluang, nama yang berasal dari sejenis ikan sungai yang berukuran kecil yang dapat dimakan. Bintang yang dimaksud adalah satu dari bintang-bintang yang bercahaya yang ada di sebelah selatan, bintang ini adalah bintang kejora (venus).
3. Tamano, arti dari kata ini tidak diketahui. Tamano adalah bintang yang membentuk segitiga.[6]
4. Ampit diambil dari nama burung pipit yang seringkali mengakibatkan kerugian yang besar pada padi yang ada di ladang.
5. Undang Galah berasal dari nama udang laut yang berukuran besar. Gugus ini terdiri dari empat bintang, yang juga berada di gugusan bagian selatan yang membentuk kupu-kupu. Bentuk-bentuknya hampir seluruhnya sama, keduanya sedikit miring; bahkan undang galah lebih besar dari bintang timur yang berada di sebelah gugusan bagian selatan.
6. Rangkan-Pare ‘perahu ikan pari’, adalah gugusan bintang selatan.
Pahera maksudnya adalah bintang yang bentuknya menyerupai tangkai beliung yaitu sejenis pahat diberi tangkai kayu dan diikat dengan rotan, kemudian digunakan sebagai kapak untuk menebang.

Gambar Baliung
Pengetahuan tentang perbintangan seperti yang disebutkan di atas hanya bisa didapatkan dari orang-orang yang sudah tua, sedangkan orang-orang yang masih muda sudah merasa puas apabila dapat menunjukkan ketika ada gugus Bintang Uju dan Saluang berada di langit.
Menurut kepercayaan orang Dayak Ngaju, dewata menempatkan bintang-bintang di langit sehingga orang-orang bisa mengatur kapan dimulainya penanaman padi berdasarkan bintang-bintang tersebut. Bintang-bintang yang digunakan sebagai penanda mengawali semua kegiatan di perladangan itu disebut sebagai bintang pangada atau ‘tanda’.
Bintang-bintang ‘pangada’ ini munculnya di pagi hari sebelum matahari terbit, agak di atas garis horizontal di sebelah timur, inilah detik-detik di mana astronom-astronom Dayak Ngaju (ongko lewu/bakas lewu) melakukan pengamatan mereka di langit untuk menentukan waktu melakukan suatu kegiatan misalnya, waktu berakhirnya pemanenan padi, waktu mengadakan pesta atau tidak, dan lain lain. Hal ini dilakukan dengan cara duduk di atas tanah lapang atau di atas batu di sungai.
E. Cara Menentukan Waktu Orang Dayak Ngaju
Suku Dayak Ngaju memiliki beberapa cara melihat bintang yang berada di atas garis horizontal untuk menghitung waktu yang ditempuh, yaitu :
1. Tarima
2. Luwus Galang
3. Karut
4. Labu Takuluk
Cara pertama :
· Bakas Lewu merentangkan tangan kanannya lurus ke depan, seolah-olah ia ingin menerima sesuatu (tarima). Bintang tersebut, yang ada di sepanjang tangannya adalah jenis bintang uju, Hose dan McDougall (1912) menyebut bintang tujuh ini adalah bintang pleiaden, kemunculan bintang ini merupakan petanda waktu untuk mencari tempat di mana orang Dayak Ngaju ingin membuka lahan untuk menanam padi (nyuwuk jumpun).
Cara ke dua :
· Bakas Lewu melihat bintang di atas garis horizontal pada waktu yang sama di pagi hari. Untuk dapat menunjukkannya Bakas Lewu harus mengangkat tangannya, gelang-gelang meluncur di sepanjang tangannya turun ke bawah menuju pundak (luwus galang). Metode ini untuk menentukan ketinggian bintang-bintang. Bintang uju yang terlihat dalam bentuk luwus galang ini menentukan waktu untuk menebang hutan (maneweng).
Cara ke tiga :
· Bintang naik lebih tinggi lagi, untuk melihatnya Bakas Lewu harus melemparkan pandangannya ke atas hingga dahinya berkerut (karut). Ini adalah waktunya membakar hutan yang sudah ditebang (nutung).
Cara ke empat :
· Bintang berada pada titik kulminasi, untuk dapat melihatnya Bakas lewu memutar kepalanya ke arah belakang, sehingga sapu tangan penutup kepala / gelang dari kulit kayu di kepalanya terjatuh (labu takuluk). Cara ke empat ini untuk menentukan waktunya menanam (manugal).
Beberapa cara lain yang ditempuh, apabila mereka kesulitan melihat bintang yaitu antara lain dengan :
· Tabakang.
Tabakang adalah sejenis ikan Biawan. Bakas lewu akan pergi ke sungai dan melihat ke air tempat di mana biasanya ikan-ikan Tabakang berkumpul. Apabila ikan-ikan ini memasuki musim bertelur, berarti bahwa musim kemarau akan segera tiba. Hal ini menandakan bahwa waktu untuk pencarian tempat yang cocok untuk kegiatan perladangan (nyuwuk jumpun) segera dimulai.
· Bajakah / Langeh.
Bajakah / Langeh adalah akar-akar pohon yang menjalar biasanya tumbuh di pinggir-pinggir sungai. Apabila akar-akar pohon ini mulai bertunas, berarti musim hujan dan banjir segera datang. Hal ini menandakan waktunya kegiatan di perladangan akan segera diakhiri.
F. Penentuan Hari
Orang-orang Dayak Ngaju tidak mengenal hari-hari dalam seminggu, mereka hanya bergantung menurut hari dalam periode bulan muncul. Sedangkan untuk menentukan nama-nama hari tersebut mereka memperhatikan bentuk bulan yang muncul dalam satu bulan. Di daerah Sampit, orang Dayak Ngaju melihat bentuk bulan ini dari balik kain tipis disebut sandurung ‘selendang’ yang dipegang kedua sisinya dan dibentangkan di atas kepala.
Adapun nama-nama hari itu adalah :
Bulan kalam 'Hari-hari gelap bulan baru'
Bulan lembut 'Hari pertama bulan baru'
Kadue bulan lembut 'hari kedua bulan baru'
Katelu bulan lembut 'hari ketiga bulan baru'
Bulan Nataji 'Hari-hari bulan sabit bulan baru'
Bulan paras 'Hari-hari pertengahan'
Panyurung bulan 'Hari-hari terakhir bulan baru'
Bulan hai 'Bulan penuh hari pertama'
Bulan bunter 'Bulan penuh hari-hari pertengahan'
Bulan karang 'Bulan penuh hari-hari terakhir'
Nahapas bulan 'Hari-hari pertama bulan lama'
Bulan Kalan 'bulan surut'
Bulan Maruak 'Hari-hari bulan sabit bulan lama'
Kamunus bulan 'Hari-hari menjelang akhir bulan lama'
Lumus bulan 'Hari-hari terakhir bulan lama'
Hapus bulan 'Hari-hari habis bulan'
Itulah waktu yang dibutuhkan bulan dalam satu fase, berbeda menurut waktu dalam setahun, juga sejumlah hari atau bahkan malam-malam ketika bulan menunjukkan fase satu sama lain tidak mengungkapkan angka-angka yang sebenarnya. Misalnya, ketika bulan baru muncul jatuh pada hari ke sembilan, dalam Dayak Ngaju hal ini dinyatakan sebagai kadue bulan lembut.
Orang Dayak Ngaju menyebutkan hari yang ke dua atau ke tiga dari fase yang sudah dipastikan dengan menggunakan kata-kata ka due (hari ke dua) dan ka telu (hari ke tiga), maka kadue bulan lembut adalah hari kedua di bulan baru.
Orang memisahkan bulan paras yang menjadi bagian dari bulan yang baru muncul dengan bulan yang sudah lama muncul dengan menambahkan kata-kata belum atau pundur. Misalnya, Paras belum ‘hari-hari pertengahan di bulan baru’.[7]
G. Fase-fase bulan yang membawa keberuntungan dan tidak membawa keberuntungan.
Hari-hari atau detik-detik yang ditunjukkan fase-fase bulan tertentu menurut orang Dayak Ngaju tidak hanya membawa keberuntungan, akan tetapi ada beberapa hari pula yang tidak membawa keberuntungan. Hari-hari di bulan Kalan adalah hari-hari yang dianggap sebagai hari yang sangat penting bagi peladang karena kurang menguntungkan. Adapun nama-nama hari yang terdapat di bulan Kalan adalah :
Bulan Kalan Tikus
Bulan Kalan Kambe
Bulan Kalan Tahi Lembut
Bulan Kalindung Tihang
Pada hari-hari di bulan Kalan khususnya pada masa-masa pencarian lahan bagi pembukaan ladang, siapapun yang melakukan ini di bulan Kalan Tikus tentunya lahan persawahannya bisa rusak karena gangguan tikus-tikus. Pada bulan Kalan Kambe padinya rusak tidak berisi di makan hantu. Sedangkan di bulan Kalan Tahi Lembut padi yang di tanam akan lebih lama dan waktu panennya terlambat dari hari biasanya. Adapun di bulan Kalindung Tihang semua tanaman dan pepohonan tidak menguntungkan, oleh karena itu pada hari tersebut orang tidak akan sibuk menuba, yaitu menangkap ikan dengan bantuan akar pohon tuba yang memabukkan. Pencarian kulit kayu juga tidak dilakukan pada hari itu karena kulit kayu lebih sulit terlepas dibandingkan hari-hari lain.
Adapun hari-hari di bulan Paras hingga bulan Hai di anggap sebagai hari-hari yang menguntungkan untuk melangsungkan pesta pernikahan dan memulai untuk membangun bilik-bilik/rumah-rumah baru.
H. Kesimpulan.
Sistem penghitungan waktu yang dimiliki oleh orang Dayak Ngaju sangat berbeda dari sistem penghitungan waktu nasional. Sistem penghitungan waktu yang didasarkan pada rotasi bumi mengelilingi matahari yaitu menurut posisi bulan dan gugusan bintang tertentu di langit. Tetapi, gugusan bintang yang berada di jajaran angkasa menurut pengetahuan orang Dayak Ngaju tidak meliputi lingkaran tata surya secara keseluruhan, seperti zodiak yang umum kita ketahui. Adapun kegunaan sistem penanggalan ini adalah untuk menentukan waktu yang tepat untuk kegiatan di perladangan. Pengaturan sistem penanggalan ini diserahkan kepada ahlinya, oleh karena itu di tiap desa ada seseorang disebut Bakas lewu/Ongko lewu yang dipercaya untuk mengamati tanda-tanda musim.
Gugusan bintang sebagai penanda waktu muncul dalam waktu yang singkat di pagi hari sebelum matahari terbit di langit bagian timur. Terdapat beberapa cara yang ditempuh untuk menentukan ketinggian posisi bintang-bintang pengada tersebut di langit.
Suku Dayak Ngaju juga menghitung bulan-bulan berdasarkan penampakkan bulan di langit sebagai penentuan hari. Nama-nama hari dalam bulan yang muncul setiap bulan memiliki nama tersendiri. Penamaan ini berkaitan dengan kepentingan yang dikarenakan arti yang membawa keuntungan ataupun tidak bagi kegiatan-kegiatan pertanian. Pada umumnya hari-hari pada bulan muda sebagai hari-hari yang lebih menguntungkan daripada hari-hari di bulan tua.
I. Daftar Pustaka
Ammarell, Gene. 1986. “Sky Calendars of The Indo-Malay Archipelago: Regional Diversity/Local Knowledge”.
Coomans, Mikhail. 1987. Manusia Daya: Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta : PT.Gramedia.
Deel, Vijfde.1927. EncyclopQdie Van Nederlandsch-Indie_. Leiden : S-Gravenhage Martinus Nijhoff.
Dove,M.R.1988. Sistem Perladangan di Indonesia : Suatu Studi Kasus di Kalimantan Barat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Hose, Charles., W., McDougall.1912. The Pagan Tribes of Borneo. London : Macmillan.
Nieuwenhuis, Anton W. 1900. In Central Borneo. Leiden : E.J. Brill.
Riwut, Tjilik. 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang : Menyelami Kekayaan Leluhur. Ed. Nila Riwut. Palangka Raya : Pusakalima.
Schadee, M.C. 1913. De Tijdrekening bij de Landak-Dajaks in de Westerafdeeling van Borneo. S-Grav, Bijdr T.L.V.
Sellato, Bernard. 1989. Horbill and Dragon (Naga dan Burung Enggang), Kalimantan, Sarawak, Sabah, Brunei. Jakarta : Elf Aquitaine (English and Indonesian/Malay).
Usop, KMA.M.,Teras Mihing, Timang Kawung.1977/78. Sejarah Daerah Kalimantan Tengah. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.



* Makalah disajikan pada Seminar Menelusuri Sejarah Penanggalan Nusantara dalam rangka Dies Natalis ke-62 FIB UGM.
* * Dosen Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya Kalimantan Tengah, kandidat Doktor Linguistik Sekolah Pascasarjana UGM.

[1] ‘Rumah panjang’ adalah suatu bangunan rumah tempat tinggal orang Dayak yang sebetulnya terdiri dari ‘apartemen-apartemen’ tempat tinggal rumah tangga yang berjejer bergabung bersambungan sehingga membentuk suatu rumah besar yang memanjang. Sebuah rumah ada yang terdiri dari 40-70 apartemen.

[2] Pembagian tahun di sini sedikit berbeda dari Usop 1975/76 yang terlalu memaksakan jumlah bulan sama dengan kalender nasional sehingga membaginya dalam setahun menjadi dua belas.
[3] Sebelum turun menanam padi dilakukan sedikit upacara manyaki/mamalas padi ‘upacara menyucikan beras’ dengan upacara ini diharapkan padi yang akan ditanam dapat tumbuh dengan subur dan berbuah banyak (mamuah mawatek).
[4] Penghitungan masa kehamilan ini dikarenakan terdapat upacara yang harus dijalani oleh si calon ibu yang disebut mauju bulan ‘upacara tujuh bulan kehamilan’ agar calon ibu dan bayinya bisa selamat saat melahirkan.
[5] Menurut Schadee (1913) di kalangan masyarakat Landak Dayak (Kalimantan Barat) berkembang pemahaman bahwa Bintang Toedjoeh / Bintang Uju adalah tidak berjumlah tujuh lagi, karena telah jatuh satu di Majapahit. Penjelasan seputar hilangnya salah satu bintang dari bintang tujuh ini terungkap dalam pantun sebagai berikut :
Bintang toedjoeh tinggal anam ‘tujuh bintang tinggal enam’
Djatoh menimpa di Mandjapahit ‘satu jatuh di Majapahit’
Batang toeboeh rasa demam ‘tubuh saya terasa demam’
Sirih pinang di makan pahit ‘sirih saya makan pahit’
Kalau bertemoe baharu bai ‘kalau bertemu dia barulah kembali baik’

[6] Menurut Freeman dalam Ammarell (1987) orang Dayak Iban mengenal tamano ini sebagai bintang tiga dan bintang uju sebagai bintang banyak yang digunakan juga sebagai penanda waktu untuk memulai pekerjaan di ladang.
[7] Menurut orang Dayak Ngaju bentuk bulan lama itu sama dengan bulan baru hanya berlawanan arah yaitu bulan baru muncul dan membesar dari kanan sedangkan bulan lama itu manyerong (pindah arah dari kiri menyusutnya) dan di bulan lama terdapat bayangan hitam akibat menyusutnya bulan yang tidak terdapat di bulan baru.

Friday, May 21, 2010

MERAJUT KEKERABATAN BAHASA ANTARA BAKUMPAI DAN DAYAK NGAJU

Oleh
Misrita



Abstrak

Hubungan kekerabatan bahasa Bakumpai dan Dayak Ngaju dikaji secara kualitatif sebagai upaya untuk mendapatkan kejelasan status kedua bahasa tersebut, yang dihipotesiskan sebagai anggota satu kelompok bahasa Barito yang memiliki keeratan hubungan kekerabatan. Hal ini dilakukan karena adanya pendapat yang masih simpang siur di kalangan linguis, tentang status bahasa Bakumpai sebagaimana tampak dalam peta Wurm (1983) sesuai dengan pendapat antropolog Mallinckrodt (1928) dan Sellato (1980), yang menggolongkan bahasa Bakumpai sebagai anggota subkelompok bahasa Melayu. Adapun Hudson (1967) mengisyaratkan, bahasa Bakumpai termasuk anggota subkelompok bahasa Dayak tanpa melakukan penelitian lebih lanjut.
Bertitik tolak dari bukti-bukti kuantitatif, maka dapat ditemukan bahwa secara kualitatif bahasa Bakumpai dan Dayak Ngaju terajut dalam satu kelompok bahasa yang berkerabat erat. Dengan demikian, hasil penelitian ini memverifikasi hipotesis Hudson bahwa bahasa Bakumpai tergolong anggota kelompok bahasa Barito.

bermain sulap

Izzi dan ken belajar sulap ternyata hasilnya lumayan, otodidak bisa juga