Wednesday, November 29, 2006

Rumpun Bahasa Austronesia

Tinjauan Sekilas

RUMPUN BAHASA AUSTRONESIA*

Oleh : MisRita Kalang

Hampir semua orang di Indo-Malaysia menuturkan bahasa-bahasa yang disebut bahasa Austronesia (Wurm dan Hatori 1983; Pawley dan Ross 1993; Bellwood et al.1995). Hanya terdapat dua perkecualian kecil yaitu orang asli di Malaysia pedalaman yang menuturkan bahasa-bahasa (disebut Aslian) yang termasuk dalam rumpun Austroasia, dan beberapa suku di Indonesia bagian timur yang menuturkan bahasa-bahasa Papua, yaitu kelompok bahasa yang terdiri dari berbagai rumpun yang berpusat di Nugini (Bellwood,2000). Namun fenomena luasnya wilayah penyebaran penutur Austronesia ini, masih banyak diselimuti oleh misteri yang belum terungkap secara tuntas hingga kini. Diantara permasalahan yang masih menjadi perdebatan adalah pengelompokkan bahasa-bahasa Austronesia itu sendiri yang masih beragam.

Ada banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai masalah ini. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah hasil kajian Dempwolff (1934,1937,1938). Dalam bukunya, Dempwolff membagi rumpun bahasa Austronesia menjadi 3 bagian, yaitu bagian Indonesia, bagian Melanesia, dan bagian Polynesia. Bahasa yang diambil sebagai contoh dari bagian Indonesia adalah Tagalok, Toba-Batak, Jawa, Melayu, Ngaju-Dayak, dan Hova (malagasi). Bahasa yang diambil sebagai contoh dari bagian Melanesia ialah bahasa Fiji, dan bahasa Sa’a, sedangkan bahasa yang dipakai sebagai contoh dari bagian Polynesia ialah bahasa Tonga, Futuna dan bahasa Samoa. Alasan diambilnya bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa yang diperbandingkan haruslah diambil dari bahasa-bahasa yang berbeda, letaknya berjauhan, dan dari anggota sub-sub rumpun yang berlainan agar rekonstruksinya betul-betul mewakili semua bahasa-bahasa yang tergabung dalam rumpun itu.

Dalam penelitian Dempwolff yang diterbitkan pada tahun 1934 sampai dengan 1938, ia menerapkan metode perbandingan vertikal. Unsur kebahasaan yang ia periksa hanyalah kata-kata saja. Bentuk kata-kata itu diperbandingkan dalam kesebelasan bahasa tersebut di atas.

Berdasarkan kajiannya ini, Dempwolff berhasil menunjukkan bentuk-bentuk bunyi yang kiranya dipakai oleh nenek moyang zaman Proto Austronesia dan menampilkan kata-kata yang kiranya juga terpakai pada zaman itu. Kata-kata yang direkonstruksi oleh Dempwolff ini dikenal sebagai Kamus Proto Austronesia dengan jumlah halaman 164, dengan judul English Finder List of Proto Austronesia.

Cendikiawan yang paling banyak memberikan tambahan atas karya Dempwolff adalah Isidore Dyen dan Blust. Kedua linguist ini membuat tambahan revisi hasil karya Dempwolf berupa daftar-daftar fonem yang direvisi. Mereka membuat revisi ejaan bahasa proto yang diberi judul Proto Austronesia Adenda, ini merupakan ejaan standard yang digunakan oleh para linguist hingga saat ini. Selain menambah inventory fonem bahasa Proto Austronesia, Dyen (1965) juga telah membuat klasifikasi baru dari bahasa-bahasa Austronesia dengan menggunakan metode leksikostatistik.

Menurut Dyen bahasa-bahasa Austronesia berjumlah sekitar 500 bahasa. Dari jumlah itu Dyen mengambil 303 bahasa yang ada kamus atau daftar kata yang cukup lengkap yang betul-betul diklasifikasi. Dari daftar sebanyak itu ternyata 58 dapat digolongkan sebagai dialek-dialek saja sehingga bahasa yang diklasifikasi adalah sejumlah 245 buah.

Dengan pendekatan kuantitatif menggunakan 100 kosakata dasar yang dilakukan Dyen (1965) terhadap bahasa-bahasa Austronesia, salah satu rumpun bahasa yang utama adalah disebut juga dengan Melayu Polinesia 1 . Rumpun Melayu Polinesia ini disebut juga Austronesia Barat. Adapun di dalam rumpun Melayu Polinesia/Austronesia Barat ini terdapat dua pembagian subkelompok bahasa yang utama yang disebut Melayu Polinesia Barat dan Melayu Polinesia Timur Tengah. Adapun Dyen menyebut subkelompok itu dengan istilah Hesperonesian Linkage (untaian/rangkaian Hesperonesia). Bahasa-bahasa yang masuk dalam subkelompok ini banyak dituturkan oleh kelompok-kelompok penduduk yang amat besar (hampir 100 juta penutur untuk bahasa Jawa) serta persebarannyapun meliputi daerah yang luas. (Bellwood,2000).

Subkelompok penting lainnya, yang disebut oleh Dyen (1965) sebagai Hesion Jawa-Sumatra, telah diteliti secara terinci oleh Nothofer (1975,1985,1988) berdasarkan anjuran Dyen. Nothofer melakukan penelitian dengan menggunakan data yang lebih banyak dan tidak hanya menggunakan metode kuantitatif tetapi juga melakukan kajian kualitatif. Kemudian subkelompok Hesion Jawa-Sumatra ini disebut oleh Nothofer sebagai subkelompok Melayu Jawa (Malayo-Javanic). Subkelompok ini meliputi bahasa Jawa, Sunda, Madura dan “mirip Melayu” (atau Malayic) ditambah dengan bahasa Aceh di Sumatra bagian utara.

Rincian bahasa dalam pengelompokkan Nothofer ditentang oleh Blust (1981, 1988) yang meragukan adanya subkelompok yang mencakup bahasa Jawa, Madura, dan Melayu. Sebaliknya, Blust menyarankan hubungan subkelompok yang lebih erat antara bahasa Melayu, Aceh dan Chamic di Vietnam bagian Selatan (hipotesis Melayu-Chamic). Bahasa Jawa dalam skema ini dianggap berhubungan erat dengan bahasa Bali dan Sasak di Lombok (Blust,1984) dalam Belwood (2000).

Adapun mengenai bahasa-bahasa “Malayic” , menurut Adelaar (1992) berdasarkan analisis mutakhirnya mengusulkan pembagian dasar antara Melayu ditambah dengan bahasa serumpun yang paling dekat dan kelompok Malayic-Dayak. Dalam kelompok Melayu termasuk pula bahasa Minangkabau dan Kerinci di Sumatra dan berbagai dialek Melayu yang digunakan di Sumatra, Jawa bagian Barat, kawasan Pantai Borneo, dan Maluku, sedangkan kelompok “Malayic-Dayak” terdiri dari bahasa-bahasa yang berhubungan di Borneo (Iban, Selako, Kendayan (Hudson,1970)) dalam Bellwood (2000).

Subkelompok yang penting juga dalam pengelompokkan Dyen (1965) adalah yang disebut subkelompok Sika (Sikic subgroup). Fernandez (1996) berhasil mengkonfirmasi pendapat Dyen tersebut yang ditetapkan melalui hasil penelitian kuantitatif. Dengan data yang lebih banyak Fernandez berhasil menetapkan bahwa subkelompok Sika adalah subkelompok bahasa-bahasa di Flores Timur yang mempunyai hubungan kekerabatan yang erat dalam untaian Mollucan Linkage.

Subkelompok lainnya dalam penelitian Dyen (1965) adalah yang disebut sebagai subkelompok Sampit (Sampitic subgroup) yang merupakan anggota kelompok bahasa Sundic. Berdasarkan penelitian yang komprehensif secara kuantitatif Dyen (1965) mengelompokkan bahasa Sampit sebagai anggota subkelompok Dayak. Misrita (2005) telah berhasil mengkonfirmasi hipotesis Dyen secara kuantitatif dengan menggunakan 200 kosa kata dasar dan secara kualitatif hipotesis Dyen diverifikasi yang membuktikan semakin meyakinkan garis silsilah kekerabatan yang diperoleh setelah kajian kuantitatif.

Demikianlah, tinjauan sekilas tentang rumpun bahasa Austronesia, yang disajikan di sini hanyalah bagian kecil dari banyak dan luasnya cakupan bahasa Austronesia itu sendiri, dan karena belum tuntasnya pembahasan tentang masalah Austronesia ini memberikan ruang yang sangat luas untuk kita teliti lebih lanjut. Jika diibaratkan dengan pertanian, maka terbentang luas lahan Austronesia ini menanti untuk digarap oleh para calon-calon komparatifis muda yang sedang menimba ilmu saat ini. Semoga kita semua dapat memberikan kontribusi demi tuntasnya permasalahan dalam lingkup bahasa-bahasa Austronesia ini.

1 Sinduwiryo (1995:12)menjelaskan sebutan rumpun “Melayu-Polinesia” karena wilayah rumpun bahasa itu di sebelah barat dibatasi oleh bahasa Melayu dan di sebelah timur oleh bahasa Polinesia.

Kepustakaan

Adelaar, K.Alexander.1992.Proto Malayic: The Description of its Phonology and Parts of its Lexicon and Morphology. Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.

Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Edisi revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bellwood, Peter.1995.Austronesian prehistory in Southeast Asia. The Austronesians.

Blust, R.A.1981. The Reconstruction of Proto Malayo javanic: An Appreciation. BTLV 137.

-----. 1984. The Austronesian Homeland : A Linguistic perspective. AP 26

-----. 1988.Malay Historical Linguistics : A Progress report. Dalam M.T. Ahmad dan Z.M. Zaim (ed) Rekonstruksi dan cabang-cabang Bahasa Melayu Induk. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.

Dempwolff,O.1934-1938.Vergleichende Lautlehre des Austronesischen Wortschatzes. Berlin. (Versi Inggris : 1971.Comparative Phonology of the Austronesian Word Lists. Vol I,II,III. Quezon City:Ateneo de Manila University).

Dyen, Isidore.1965. A Lexicostatistical Classification of the Autronesian Languages. Indiana University Publication in Linguistics, Memoir 19, Supplement to the IJAL.

Fernandez, Inyo Yos.1996. Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores : Kajian Linguistik Historis Komparatif Terhadap Sembilan Bahasa di Flores.Ende: Nusa Indah.

Hudson, Alfred B. 1967.”The Barito Isolects on Borneo : A Classification Based on Comparative Reconstruction and Lexicostatistics”. Ithaca Nj : Cornell University.

Misrita.2005. “Bahasa Sampit di Kalimantan Tengah : Kajian Linguistik Diakronis” Thesis Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada

Nothofer, Bernd.1975. The Reconstruction of Proto-Malayo-Javanic. Verhandelingen van het KITLV 73’s-Gravenhage : Martinus Nijhoff.

------.1985. The subgrouping of the Languages of the Javo-Sumatra Hesion : a Reconstruction. BTLV 141

-----.1988. A Discussion of two Austronesian subgroups : Proto-Malay and Proto Malayic. Dalam M.T Ahmad dan Z.M.Zaim (ed) Rekonstruksi dan cabang-cabang bahasa Melayu Induk. Kuala Lumpur : Dewan bahasa dan Pustaka.

Pawley dan M.Ros.1993. Austronesian Historical Linguistics and Culture History. Review of Anthropology 22.

Sindiwiryo, Sudarno.1995. Perbandingan Bahasa Nusantara. Jakarta : Ikip Muhammadiyah Jakarta Press.

Wurm, S.A and Shiro Hattori. 1983. “Maps of Insular South-East Asia II”. hPL.C.67.Canberra. The Australian Academy of Humanities.