Wednesday, May 20, 2009

Bahasa Sampit

Bahasa Sampit adalah sebuah bahasa yang wilayah pemakaiannya meliputi kecamatan Baamang, Mentawa Baru dan Seranau di kabupaten Kotawaringin Timur yaitu salah satu kabupaten di propinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan dua kabupaten baru dari hasil pemekaran wilayah pada tahun 2002 yaitu kabupaten Katingan dan kabupaten Seruyan. Daerah Sampit terletak di sepanjang tepi sungai Mentaya, dalam bahasa Ot Danum sungai Mentaya ini disebut “batang danum kupang bulau” (‘sungai tempat emas’) (Masdipura via Anwar,2004) (Http://www.kotim.go.id/ktm04id, on line 7 Nopember). Nama yang populer di kalangan masyarakat ini menarik karena kehidupan masyarakat Sampit dahulu tidak terpisahkan dari sungai. Daerah hunian masyarakat yang terletak berseberangan di sepanjang aliran sungai ini memungkinkan penduduknya bermata pencaharian utama sebagai peladang, pemilik kebun karet, dan pencari rotan di hutan.
Kotawaringin Timur sebagai sebuah kabupaten luas wilayahnya 17.000 Kilometer persegi. Setelah pemekaran wilayah penduduknya mencapai 284.043 jiwa (Anonim,2004) (Http://www.kotim.go.id/ktm04id, on line 7 Nopember). Kabupaten ini terdiri dari 10 kecamatan, yang ibukotanya adalah Sampit yang terletak di Mentawa Baru. Selain di kota Sampit, bahasa Sampit juga dipakai di Baamang wilayah kecamatan Baamang dan Mentaya Seberang wilayah Kecamatan Seranau.1
Pada mulanya penduduk asli penutur bahasa Sampit bermukim di kampung-kampung yang saling berjauhan letaknya tersebar di daerah aliran sungai. Mobilitas penduduknya terhambat akibat kondisi geografis yang terisolasi. Lagi pula kampung-kampung itu kebanyakan terpencil oleh hutan rimba, rawa-rawa, bukit dan sungai mempersulit kontak antar kelompok. Keadaan seperti itu menyebabkan penutur bahasa yang sama setelah terpisah dalam kelompok-kelompok lama kelamaan menjadi kendala saling paham semakin berkurang. Dengan demikian, karena kondisi geografis di sekitarnya, bahasa Sampit yang semula mempunyai tingkat saling paham yang tinggi dengan bahasa Tamuan dan Mentaya2 lama kelamaan terpisah sebagai bahasa yang berbeda. Sedangkan, wilayah pakai bahasa Sampit di Sampit, Baamang dan Mentaya Seberang masih memiliki tingkat pemahaman yang tinggi.
Sampit mulai muncul sebagai isu nasional ketika terjadi konflik antar etnik pada awal tahun 2001. Kemudian peristiwa itu memicu bangkitnya semangat etnosentris etnik Dayak yang mempererat hubungan etnik Sampit dan dayak Ngaju karena penghormatan kepada tradisi leluhur yang sama. Hubungan budaya itu secara kronologis berkembang dalam perjalanan waktu karena hubungan yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari masa lampau. Mitologi mereka menuturkan adanya hubungan etnis Sampit dan Dayak Ngaju karena tradisi leluhur yang dipelihara dan melalui bahasa ritual yang dimanfaatkan menjalin hubungan dengan para leluhur mereka merupakan bukti kebersamaan Sampit dan Dayak Ngaju. Budaya Sampit yang peduli terhadap tradisi itu memperlihatkan bukti adanya pertalian antar bahasa dan budaya Sampit sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Bukti kebersamaan etnik Sampit dan Dayak Ngaju lainnya juga dapat dilihat dari adanya bangunan peninggalan berupa Sandung di wilayah Sampit dan Mentaya seberang. Sandung, merupakan bangunan tinggi berukuran kecil terbuat dari kayu besi yang dihiasi ukiran-ukiran indah dan ditempatkan di pekarangan rumah, tempat untuk menyimpan abu tulang belulang nenek moyang atau kerabat yang telah meninggal. Di sekitar sandung berdiri pula tiang-tiang peringatan (sapundu) penyembelihan hewan korban yang didirikan setelah upacara tiwah3. Tiwah adalah upacara pembakaran tulang dari orang yang telah meninggal, merupakan upacara yang terpenting dalam ritus kematian masyarakat Dayak ngaju. Hal ini menunjukkan bahwa budaya Sampit juga mengenal adanya upacara tiwah dalam rangkaian ritual adat kematian.
Masih terdapat silang pendapat tentang status bahasa Sampit di kalangan para sarjana. Pendapat yang dikemukakan oleh Hudson (1967) secara tersurat mengenai status bahasa Sampit menarik perhatian karena ia memasukan bahasa Sampit ke dalam subkelompok Melayu. Pendapat ini tidak didukung oleh sejumlah fakta yang dikemukakan oleh sarjana lain yang berpendapat bahwa bahasa Sampit lebih dekat hubungannya dengan bahasa Dayak Ngaju.
Sesuai dengan uraian di atas, penelitian ini cenderung lebih menerima pendapat yang terakhir karena diasumsikan hubungannya yang erat antara budaya dan bahasa dayak yang memperlihatkan kedekatan hubungan antara bahasa Sampit dan Dayak Ngaju. Walaupun, penelitian ini berseberangan pendapat dengan pendapat yang diajukan Hudson, penelitian ini lebih berdasarkan perspektif linguistik diakronis, jika dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu karena penelitian tersebut lebih terfokus pada kajian sinkronis. Pendapat lain yang baru dijelaskan secara sinkronis berseberangan dengan pendapat Hudson di atas ditinjau dari pendekatan sinkronis seperti yang diuraikan dalam tinjauan pustaka.
Bagan berikut ini menunjukan bahwa kekerabatan antara bahasa Sampit dengan Dayak Ngaju lebih erat jika diamati hubungannya dengan bahasa Banjar dan Proto Melayik Adelaar (1992).

No
Protobahasa Melayu Polinesia
Protobahasa Melayik
Dayak Ngaju
Sampit
Melayu Banjar
Gloss
1
*aku
*aku
aku
yaku
aku
aku
2
*taliŋa
*taliŋa
pindiŋ
pindiŋ
taliŋa
telinga
3
*kaki
*kaki
Pai
pai
batis
kaki
4
*kau
*kau
ikaw
ikaw
ikam
kau
5
*t@lu
*tiga
t@lu
tilu
tiga
tiga
6
*X@pat
*@mpat
εpat
εpat
ampat
empat

Dari data di atas dapat dilihat adanya inovasi bersama secara leksikal pada data 2,3 dan 4 yang ada pada bahasa Dayak Ngaju dan sampit. Sedangkan pada data 1, 5 dan 6 merupakan retensi Proto Melayu Polinesia yang tercermin juga pada Proto Melayik dan refleksnya sama dengan refleks leksikal yang ada pada bahasa melayu Banjar. Dapat disimpulkan bahasa Dayak Ngaju dan Sampit dalam data terbatas ini memperlihatkan kekerabatan yang lebih erat. Untuk sementara hipotesis yang diletakkan oleh Hudson masih perlu diuji kebenarannya. Kenyataan itu memberi petunjuk yang lebih dapat dipertanggung jawabkan karena tantangan hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini (lihat hipotesis).
Hubungan kekerabatan bahasa Sampit dengan Dayak Ngaju dapat digambarkan dalam diagram pohon yang memperlihatkan silsilah yang dihipotesiskan sebagai berikut :
Diagram pohon 1
PMP

PMD
PM PD

Bjr PB

PBB PBTi PBM
Spt DNg Kat
Keterangan :
PMP : Proto Melayu Polinesia PBTi : Proto Barito Timur
PMD : Proto Melayu Dayak PBM : Proto Barito Mahakam
PM : Proto Melayu (subgrup Melayu) Spt : bahasa Sampit
PD : Proto Dayak (non Melayu) DNg : bahasa Dayak Ngaju
PB : Proto Barito Bjr : bahasa banjar
PBB : Proto Barito Barat Kat : bahasa Katingan
Secara sekilas dapat digambarkan pula lewat diagram pohon 2 berikut pandangan Hudson mengenai status bahasa Sampit yang termasuk ke dalam subkelompok Melayik. Patut dicatat bahwa hipotesis ini hingga kini belum dibuktikan melalui penelitian lanjutan.
Diagram pohon 2
PMP

PMD
PM PD
Spt Bjr PB

PBB PBTi PBM
DNg Kat Sebagaimana tampak dalam diagram pohon 2, bahasa Sampit sebagaimana halnya bahasa Banjar merupakan anggota subkelompok Melayu, dengan demikian tidak termasuk dalam subkelompok yang berdekatan dengan bahasa Dayak Ngaju.

No comments: